Thursday 17 March 2011

Gara-Gara Si Oom

Kemarin-kemarin ada yang tanya "Mana ceritanya?" "Boleh lihat ga cerpennya?" "Tentang apa ceritanya?"
So, here it is, Cerpen yang kemarin dilombakan di Lomba Menulis Cerpen-nya Sekolah Tinggi Menulis Jogja, dan Thanks God ada diurutan buncit, nomor 9 dari 10 pemenang cerpen kategori Gokil. Selamat membaca!


“Cari Oom-Oom yuk Ghin!”. Aku langsung menghentikan langkahku begitu mendengar omongan ngaco temanku satu ini.


“Hah? gila kamu Wid!”, timpalku sambil melotot ke arah Widya, kaget.


“Lho, ya kan iseng aja Ghin. Siapa tahu nanti kita bisa dibayarin, biasanya kan Oom-Oom suka begitu, hihihi”, balas Widya konyol sambil cekikikan.



“Hush, ngaco ah, hati-hati lho Wid kalo ngomong”, ujarku sambil menarik Widya ke restoran Japannese fast food kesukaan kami untuk menghentikan celoteh gilanya.
***
“Ayo Wid, buruan” kataku, “Kasian tuh yang ngantri di belakang kita, udah nungguin”.


“Iya... iya. Sabar bentar dong”, jawab Widya sedikit sewot.


Setelah mendapat yang kami pesan, kami mulai celingak-celinguk mencari meja yang kosong, memang saat ini sedang jam makan siang, rasanya semua tempat duduk sudah ada yang menempati. Akhirnya kami memutuskan untuk duduk di teras restoran yang tidak ber-AC, yah walaupun agak panas, tapi meja disitu kosong sama sekali, kami bisa memilih tempat sesuka hati. “Wah, kita bisa pindah-pindah meja nih Ghin!”, kata Widya agak norak.

Saat kami sedang menyantap makanan, ada orang lain yang berjalan menuju tempat kami duduk. “Eh Ghin, itu kan Oom yang tadi ngantri di belakang kita”, bisik Widya sambil lalu. Kuperhatikan sekilas pria yang dimaksud Widya. Kemudian ia mengambil meja di sebelah meja kami. Kelihatannya ia hanya sendiri.

“Berdua saja, dik?”, terdengar suara berat si pria tadi. Tadinya aku agak bingung kepada siapa sebenarnya pertanyaan itu ditujukan, tapi memang tidak ada orang lagi selain aku, Widya, dan si Oom itu. 


“Oh.. iya Oom”, Widya menjawab pertanyaan si Oom itu dengan singkat. 


“Sekolah dimana, Dik?”, Oom itu bertanya lagi. 


“Em.. udah kuliah Oom”, jawab Widya.

Kuliah dari mana coba? Jelas-jelas kami masih duduk di bangku SMA, ah dasar Widya ada-ada saja, batinku.


“Oo... Kuliah dimana Dik?”, sambung Oom itu lagi. Wah, ini sih namanya sudah interogasi, bukannya basa-basi lagi, pikirku.


“Di akademi sekretaris Oom”, jawab Widya sambil senyam-senyum sok anggun. Genit. Sementara itu aku masih berlagak tidak peduli, padahal dalam hati aku ingin tertawa ngakak.
“Oh, calon sekretaris sukses dong ya”, kata Oom itu. Aku menutup mulut demi menahan tawaku.


“Saya dari Surabaya, Dik”, Oom itu masih saja berusaha membuka pembicaraan. Huh, siapa yang tanya, Oom! Batinku kesal.


“Oh... Wah, sama dong Oom, nih Ghina juga asli Surabaya”, kata Widya tiba-tiba sambil menyikutku, aku hanya bisa melotot galak.


“Wah, satu kampung dong kita Ghina!”, Oom itu tampak senang. Sok akrab banget sih Oom ini, pake acara panggil namaku segala pula, lagi-lagi aku hanya membatin di dalam hati.

Setelah itu, ia mulai bertanya-tanya seputar alamatku di Surabaya, kapan aku pulang ke sana dan sebagainya. Aku jawab sekenanya saja. Aku mulai kesal pada Oom ini, juga pada Widya yang masih saja menanggapi omongan si Oom genit ini. SKSD banget sih ini Oom, batinku dalam hati.

Saat Widya sedang ke WC, Oom itu mulai lagi. Kali ini ia bertanya tentang bioskop yang ada di daerah sini. Kusebutkan saja salah satu bioskop yang aku tahu. Eh ternyata, ia malah mengajakku nonton! Aku kaget setengah mati. Baru kali ini ada orang yang baru aku kenal mengajakku nonton bioskop, Oom-Oom pula. Untung saja Widya cepat kembali, dan untungnya lagi, handphone Oom genit itu berbunyi sehingga ia harus menjauh untuk mengangkat telepon.

“Gila Wid, Oom itu barusan ngajak aku nonton”, bisikku pada Widya. “Ah, yang bener Ghin? Ih... serem banget”, komentar Widya. “Katanya tadi mau nyari Oom-Oom yang mau bayarin? tuh sana kamu aja pergi nonton sama dia, ditraktir lho katanya”, sindirku pada Widya. “Idih, kalau yang kayak gitu sih ogah”, sahut Widya, masih dengan berbisik-bisik. “Yee, gimana sih, Oom-Oom ya begitu semua Wid”, timpalku. “Udah ah, mendingan sekarang kita pergi aja yuk”, ajakku sambil buru-buru menarik tangan Widya, lalu kami pun bergegas pergi meninggalkan restoran tersebut.
 ***
“Jangan tengok-tengok ke belakang Ghin!”, kata Widya memperingatiku, “masa Oom yang genit tadi ngikutin kita, buruan deh yuk”. Kami pun berlari-lari kecil agar si Oom usil tadi kehilangan jejak. Kami lalu memasuki sebuah toko DVD untuk menghindar.

Karena merasa sudah aman, kami pun bisa melihat-lihat DVD dengan tenang.

“Suka film apa, Ghina?”. Oh Tuhaaan... rasanya jantung ini mau copot mendengar suara  itu. Oom itu lagi! Kali ini dia pasang senyum sok manis yang justru terlihat menyeramkan bagiku. Mataku berputar-putar mencari Widya.


“Mau saya belikan DVD?”, Oom itu mulai lagi, duh... mati lah aku.


“Eng... engga  usah Oom, terima kasih”, jawabku sedikit gugup.


Ketika mataku menangkap sosok Widya, aku langsung menariknya keluar dari toko itu. Untung saja di luar toko ramai orang yang berlalu lalang, sehingga kami dapat menghilang dalam kerumunan orang-orang itu. Semoga Oom-Oom itu tidak mengikuti kami ya Tuhan, doaku dalam hati.
***
Setelah berlari-lari dan berhasil masuk ke dalam mobil, barulah kami bisa benar-benar bernapas lega. Kami pun saling berpandangan dan tertawa terbahak-bahak sedetik kemudian.

“Tuh kan, benar kata gue Ghin. Oom-Oom kayak gitu ada banyak kan”, kata Widya masih dengan napas yang ngos-ngosan.


“Banyak sih banyak, Wid. Tapi emang kamu masih mau cari Oom-Oom? Lihat sendiri kan tadi, serem banget itu Oom-Oom. Tampangnya sih baik, tapi ternyata...”, belum selesai aku bicara, aku melihat sedan metalik melintas di depan mobil kami. “Wid, Oom yang tadi lagi!!” kataku setengah berteriak. Kaget.


“Makanya, jangan sok mau cari Oom-Oom segala deh Wid, udah dapat malah ketakutan sendiri kan!” Widya menasihati dirinya sendiri sambil memukul-mukulkan tangannya ke kepala. “Baru tahu rasa deh sekarang” timpalku geli. Sejurus kemudian, meledaklah tawaku mengingat tingkah Widya yang konyol hari ini.***

nb: Thanks to both of my friends, Ghina and Widya. Honestly, after writing this story, I was confuse choosing 2 names for that characters, dua tokoh yang ceritanya kan sohiban banget. Trus keinget keunyuan kalian berdua, dan... yah akhirnya land up with Widya and Ghina sebagai nama tokohnya. :)

No comments: